Jujur, Kiat Menuju Selamat
Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/38-jujur-kiat-menuju-selamat.html
Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/38-jujur-kiat-menuju-selamat.html
JUJUR, KIAT MENUJU SELAMAT
Jujur adalah sebuah ungkapan yang acap kali kita dengar dan
menjadi pembicaraan. Akan tetapi bisa jadi pembicaraan tersebut hanya mencakup
sisi luarnya saja dan belum menyentuh pembahasan inti dari makna jujur itu
sendiri. Apalagi perkara kejujuran merupakan perkara yang berkaitan dengan
banyak masalah keislaman, baik itu akidah, akhlak ataupun muamalah; di mana
yang terakhir ini memiliki banyak cabang, seperti perkara jual-beli,
utang-piutang, sumpah, dan sebagainya.
Jujur merupakan sifat yang terpuji. Allah menyanjung
orang-orang yang mempunyai sifat jujur dan menjanjikan balasan yang berlimpah
untuk mereka. Termasuk dalam jujur adalah jujur kepada Allah, jujur dengan
sesama dan jujur kepada diri sendiri. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits
yang shahih bahwa Nabi bersabda,
“Senantiasalah kalian jujur, karena sesungguhnya kejujuran
itu membawa kepada kebajikan, dan kebajikan membawa kepada surga. Seseorang
yang senantiasa jujur dan berusaha untuk selalu jujur, akhirnya ditulis di sisi
Allah sebagai seorang yang selalu jujur. Dan jauhilah kedustaan karena
kedustaan itu membawa kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan membawa ke neraka.
Seseorang yang senantiasa berdusta dan selalu berdusta, hingga akhirnya ditulis
di sisi Allah sebagai seorang pendusta.”
Definisi Jujur
Jujur bermakna keselarasan antara berita dengan kenyataan
yang ada. Jadi, kalau suatu berita sesuai dengan keadaan yang ada, maka
dikatakan benar/jujur, tetapi kalau tidak, maka dikatakan dusta. Kejujuran itu
ada pada ucapan, juga ada pada perbuatan, sebagaimana seorang yang melakukan
suatu perbuatan, tentu sesuai dengan yang ada pada batinnya. Seorang yang
berbuat riya’ tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia telah
menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dia sembunyikan (di dalam
batinnya). Demikian juga seorang munafik tidaklah dikatakan sebagai seorang
yang jujur karena dia menampakkan dirinya sebagai seorang yang bertauhid,
padahal sebaliknya. Hal yang sama berlaku juga pada pelaku bid’ah; secara
lahiriah tampak sebagai seorang pengikut Nabi, tetapi hakikatnya dia
menyelisihi beliau. Yang jelas, kejujuran merupakan sifat seorang yang beriman,
sedangkan lawannya, dusta, merupakan sifat orang yang munafik.
Imam Ibnul Qayyim berkata, Iman asasnya adalah kejujuran
(kebenaran) dan nifaq asasnya adalah kedustaan. Maka, tidak akan pernah bertemu
antara kedustaan dan keimanan melainkan akan saling bertentangan satu sama
lain. Allah mengabarkan bahwa tidak ada yang bermanfaat bagi seorang hamba dan
yang mampu menyelamatkannya dari azab, kecuali kejujurannya (kebenarannya).
Allah berfirman,
“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang
yang benar kebenaran mereka.” (QS.
al-Maidah: 119)
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan
membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zumar: 33)
Keutamaan Jujur
Nabi menganjurkan umatnya untuk selalu jujur karena
kejujuran merupakan mukadimah akhlak mulia yang akan mengarahkan pemiliknya
kepada akhlak tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Nabi,
“Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebajikan.”
Kebajikan adalah segala sesuatu yang meliputi makna
kebaikan, ketaatan kepada Allah, dan berbuat bajik kepada sesama.
Sifat jujur merupakan alamat keislaman, timbangan keimanan,
dasar agama, dan juga tanda kesempurnaan bagi si pemilik sifat tersebut.
Baginya kedudukan yang tinggi di dunia dan akhirat. Dengan kejujurannya,
seorang hamba akan mencapai derajat orang-orang yang mulia dan selamat dari
segala keburukan.
Kejujuran senantiasa mendatangkan berkah, sebagaimana
disitir dalam hadist yang diriwayatkan dari Hakim bin Hizam dari Nabi, beliau
bersabda,
“Penjual dan pembeli diberi kesempatan berfikir selagi
mereka belum berpisah. Seandainya mereka jujur serta membuat penjelasan
mengenai barang yang diperjualbelikan, mereka akan mendapat berkah dalam jual
beli mereka. Sebaliknya, jika mereka menipu dan merahasiakan mengenai apa-apa
yang harus diterangkan tentang barang yang diperjualbelikan, maka akan terhapus
keberkahannya.”
Dalam kehidupan sehari-hari –dan ini merupakan bukti yang
nyata– kita dapati seorang yang jujur dalam bermuamalah dengan orang lain,
rezekinya lancar-lancar saja, orang lain berlomba-lomba datang untuk
bermuamalah dengannya, karena merasa tenang bersamanya dan ikut mendapatkan
kemulian dan nama yang baik. Dengan begitu sempurnalah baginya kebahagian dunia
dan akherat.
Tidaklah kita dapati seorang yang jujur, melainkan orang
lain senang dengannya, memujinya. Baik teman maupun lawan merasa tentram
dengannya. Berbeda dengan pendusta. Temannya sendiripun tidak merasa aman,
apalagi musuh atau lawannya. Alangkah indahnya ucapan seorang yang jujur, dan
alangkah buruknya perkataan seorang pendusta.
Orang yang jujur diberi amanah baik berupa harta, hak-hak
dan juga rahasia-rahasia. Kalau kemudian melakukan kesalahan atau kekeliruan,
kejujurannya -dengan izin Allah- akan dapat menyelamatkannya. Sementara
pendusta, sebiji sawipun tidak akan dipercaya. Jikapun terkadang diharapkan
kejujurannya itupun tidak mendatangkan ketenangan dan kepercayaan. Dengan
kejujuran maka sah-lah perjanjian dan tenanglah hati. Barang siapa jujur dalam
berbicara, menjawab, memerintah (kepada yang ma’ruf), melarang (dari yang
mungkar), membaca, berdzikir, memberi, mengambil, maka ia disisi Allah dan
sekalian manusia dikatakan sebagai orang yang jujur, dicintai, dihormati dan
dipercaya. Kesaksiaannya merupakan kebenaran, hukumnya adil, muamalahnya
mendatangkan manfaat, majlisnya memberikan barakah karena jauh dari riya’
mencari nama. Tidak berharap dengan perbuatannya melainkan kepada Allah, baik
dalam salatnya, zakatnya, puasanya, hajinya, diamnya, dan pembicaraannya
semuanya hanya untuk Allah semata, tidak menghendaki dengan kebaikannya tipu
daya ataupun khiyanat. Tidak menuntut balasan ataupun rasa terima kasih kecuali
kepada Allah. Menyampaikan kebenaran walaupun pahit dan tidak mempedulikan
celaan para pencela dalam kejujurannya. Dan tidaklah seseorang bergaul
dengannya melainkan merasa aman dan percaya pada dirinya, terhadap hartanya dan
keluarganya. Maka dia adalah penjaga amanah bagi orang yang masih hidup, pemegang
wasiat bagi orang yang sudah meninggal dan sebagai pemelihara harta simpanan
yang akan ditunaikan kepada orang yang berhak.
Seorang yang beriman dan jujur, tidak berdusta dan tidak
mengucapkan kecuali kebaikan. Berapa banyak ayat dan hadist yang menganjurkan
untuk jujur dan benar, sebagaimana firman-firman Allah yang berikut,
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah,
dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. at-Taubah: 119)
“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang
yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir
sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap
mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling
besar.” (QS. al-Maidah: 119)
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang
menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Di antara mereka ada yang
gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit
pun tidak merubah (janjinya).” (QS.
al-Ahzab: 23)
“Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah,
niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad: 21)
Nabi bersabda, “Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada
yang tidak meragukanmu, sesungguhnya kejujuran, (mendatangkan) ketenangan dan
kebohongan, (mendatangkan) keraguan.”
Macam-Macam Kejujuran
- Jujur dalam niat dan kehendak. Ini kembali kepada keikhlasan. Kalau suatu amal tercampuri dengan kepentingan dunia, maka akan merusakkan kejujuran niat, dan pelakunya bisa dikatakan sebagai pendusta, sebagaimana kisah tiga orang yang dihadapkan kepada Allah, yaitu seorang mujahid, seorang qari’, dan seorang dermawan. Allah menilai ketiganya telah berdusta, bukan pada perbuatan mereka tetapi pada niat dan maksud mereka.
- Jujur dalam ucapan. Wajib bagi seorang hamba menjaga lisannya, tidak berkata kecuali dengan benar dan jujur. Benar/jujur dalam ucapan merupakan jenis kejujuran yang paling tampak dan terang di antara macam-macam kejujuran.
- Jujur
dalam tekad dan memenuhi janji. Contohnya seperti ucapan seseorang, “Jikalau
Allah memberikan kepadaku harta, aku akan membelanjakan semuanya di jalan
Allah.” Maka yang seperti ini adalah tekad. Terkadang benar, tetapi
adakalanya juga ragu-ragu atau dusta. Hal ini sebagaimana firman Allah:
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (QS. al-Ahzab: 23)Dalam ayat yang lain, Allah berfirman,“Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.’ Maka, setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).” (QS. at-Taubah: 75-76) - Jujur dalam perbuatan, yaitu seimbang antara lahiriah dan batin, hingga tidaklah berbeda antara amal lahir dengan amal batin, sebagaimana dikatakan oleh Mutharrif, “Jika sama antara batin seorang hamba dengan lahiriahnya, maka Allah akan berfirman, ‘Inilah hambaku yang benar/jujur.'”
- Jujur dalam kedudukan agama. Ini adalah kedudukan yang paling tinggi, sebagaimana jujur dalam rasa takut dan pengharapan, dalam rasa cinta dan tawakkal. Perkara-perkara ini mempunyai landasan yang kuat, dan akan tampak kalau dipahami hakikat dan tujuannya. Kalau seseorang menjadi sempurna dengan kejujurannya maka akan dikatakan orang ini adalah benar dan jujur, sebagaimana firman Allah,“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. al-Hujurat: 15)
Realisasi perkara-perkara ini membutuhkan kerja keras.
Tidak mungkin seseorang manggapai kedudukan ini hingga dia memahami hakikatnya
secara sempurna. Setiap kedudukan (kondisi) mempunyai keadaannya
sendiri-sendiri. Ada kalanya lemah, ada kalanya pula menjadi kuat. Pada waktu
kuat, maka dikatakan sebagai seorang yang jujur. Dan jujur pada setiap
kedudukan (kondisi) sangatlah berat. Terkadang pada kondisi tertentu dia jujur,
tetapi di tempat lainnya sebaliknya. Salah satu tanda kejujuran adalah
menyembunyikan ketaatan dan kesusahan, dan tidak senang orang lain
mengetahuinya.
Khatimah
Orang yang selalu berbuat kebenaran dan kejujuran, niscaya
ucapan, perbuatan, dan keadaannya selalu menunjukkan hal tersebut. Allah telah
memerintahkan Nabi untuk memohon kepada-Nya agar menjadikan setiap langkahnya
berada di atas kebenaran sebagaimana firman Allah,
“Dan katakanlah (wahai Muhammad), ‘Ya Tuhan-ku, masukkanlah
aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang
benar dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong.” (QS. al-Isra’: 80)
Allah juga mengabarkan tentang Nabi Ibrahim yang memohon
kepada-Nya untuk dijadikan buah tutur yang baik.
“Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang
(yang datang) kemudian.” (QS.
asy-Syu’ara’: 84)
Hakikat kejujuran dalam hal ini adalah hak yang telah
tertetapkan, dan terhubung kepada Allah. Ia akan sampai kepada-Nya, sehingga
balasannya akan didapatkan di dunia dan akhirat. Allah telah menjelaskan
tentang orang-orang yang berbuat kebajikan, dan memuji mereka atas apa yang
telah diperbuat, baik berupa keimanan, sedekah ataupun kesabaran. Bahwa mereka
itu adalah orang-orang jujur dan benar. Allah berfirman,
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu
suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada
Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan
harta yang dicintai kepada karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila dia berjanji, dan orang-orang yang
sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah
orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 177)
Di sini dijelaskan dengan terang bahwa kebenaran itu tampak
dalam amal lahiriah dan ini merupakan kedudukan dalam Islam dan Iman. Kejujuran
serta keikhlasan keduanya merupakan realisasi dari keislaman dan keamanan.
Orang yang menampakkan keislaman pada dhahir
(penampilannya) terbagi menjadi dua: mukmin (orang yang beriman) dan munafik
(orang munafik). Yang membedakan diantara keduanya adalah kejujuran dan
kebenaran atas keyakinannya. Oleh sebab itu, Allah menyebut hakekat keimanan
dan mensifatinya dengan kebenaran dan kejujuran, sebagaimana firman Allah,
“(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari
kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah
dan keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah
orang-orang yang benar.” (QS. al-Hasyr:
8)
Lawan dari jujur adalah dusta. Dan dusta termasuk dosa
besar, sebagaimana firman Allah,
“Kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada
orang-orang yang dusta.” (QS. Ali Imran:
61)
Dusta merupakan tanda dari kemunafikan sebagaimana yang
disebutkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah
bersabda,
“Tanda-tanda orang munafik ada tiga perkara, yaitu apabila
berbicara dia dusta, apabila berjanji dia mungkiri dan apabila diberi amanah
dia mengkhianati.” (HR. Bukhari, Kitab-Iman:
32)
Kedustaan akan mengantarkan kepada kemaksiatan, dan
kemaksiatan akan menjerumuskan ke dalam neraka. Bahaya kedustaan sangatlah
besar, dan siksa yang diakibatkannya amatlah dahsyat, maka wajib bagi kita
untuk selalu jujur dalam ucapan, perbuatan, dan muamalah kita. Dengan demikian
jika kita senantiasa menjauhi kedustaan, niscaya kita akan mendapatkan pahala
sebagai orang-orang yang jujur dan selamat dari siksa para pendusta. Waallahu
A’lam.
“Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang
membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang
kepadanya? Bukankah di neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang
yang kafir? Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya,
mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka
kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat
baik, agar Allah akan menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang paling
buruk yang mereka kerjakan dan membalas mereka dengan upah yang lebih baik dari
apa yang telah mereka kerjakan.” (QS.
az-Zumar: 32-35)
HUKUM MENEPATI JANJI
Sebagian orang sangat mudah membuat janji, namun mudah pula menyelisihi
janji yang dibuatnya dan tidak mau berusaha menepati janjinya. Tindakan semacam
ini termasuk dosa lisan, dan merupakan salah satu tanda kemunafikan.
Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
آيَةُ المُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا
وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang
munafik itu ada tiga, (1) jika berbicara berdusta; (2) jika berjanji maka tidak
menepati; dan (3) jika diberi amanah, dia berkhianat.” (HR. Bukhari no. 33 dan
Muslim no. 59)
Baca Juga: Soal-99: Hukum Janji Untuk Membunuh
Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47562-hukum-menepati-janji.html
Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47562-hukum-menepati-janji.html
Dalam hadits di
atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan diksi “ayat” (tanda).
Dalam bahasa Arab, “ayat” adalah tanda yang tidak mungkin meleset, berbeda
dengan “alamat” (yang juga memiliki makna “tanda” dalam bahasa Indonesia) yang
bisa jadi meleset. Sehingga dapat dipahami dari hadits di atas, bahwa siapa
saja yang memiliki tiga karakter di atas, maka bisa dipastikan bahwa terdapat
cabang kemunafikan dalam dirinya.
Hal ini juga
dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr
radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَرْبَعٌ
مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ
مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا: إِذَا
اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا
خَاصَمَ فَجَرَ
“Terdapat empat
perkara yang jika semuanya ada pada diri seseorang, maka jadilah dia orang
munafik tulen (maksudnya, akan mengantarkan kepada nifak akbar, pen.). Dan jika
ada pada dirinya salah satunya, maka dia memiliki sifat kemunafikan, sampai dia
meninggalkannya, (yaitu): (1) jika berbicara, dia berdusta; (2) jika membuat
perjanjian, dia melanggarnya; (3) jika membuat janji (untuk berbuat baik kepada
orang lain, pen.), dia menyelisihi janjinya; dan (4) jika bertengkar
(berdebat), dia melampaui batas.” (HR. Bukhari no. 34 dan Muslim no. 59, lafadz
hadits ini milik Bukhari)
Terdapat dua kondisi dalam diri seseorang yang
melanggar (menyelisihi) janji, yaitu:
Pertama, membuat
janji untuk berbuat baik kepada orang lain (misalnya memberi hadiah), akan
tetapi ketika membuat janji, dia sudah berniat dan bertekad untuk tidak
memenuhi janji tersebut, dan secara riil memang dia tidak memenuhi janji yang
sudah dibuat. Ini adalah perbuatan menyelisihi janji yang paling jelek.
Ke dua, ketika
membuat janji tidak ada niat untuk tidak memenuhi janji tersebut. Dia memiliki
tekad untuk memenuhi janjinya. Namun ketika tiba hari H, dia tiba-tiba tidak
memenuhi janjinya tersebut tanpa alasan yang bisa dibenarkan.
Dua perbuatan
ini termasuk dalam perbuatan menyelisihi janji atau tidak menepati (memenuhi)
janji yang telah dibuat.
Dalam masalah
hukum menepati janji atau hukum menyelisihi janji, ada tiga pendapat ulama
dalam masalah ini.
Pendapat pertama
yaitu pendapat jumhur ulama. Jumhur ulama mengatakan bahwa hukum memenuhi janji
yang itu murni berbuat baik kepada orang lain adalah sunnah (mustahab) dan
tidak wajib.
Janji yang murni
berbuat baik kepada orang lain misalnya seseorang berjanji jika dia mendapatkan
bonus gaji, dia akan mentraktir makan bakso temannya. Maka menurut jumhur
ulama, janji semacam ini hukumnya sunnah untuk dipenuhi, tidak sampai derajat
wajib.
Pendapat kedua
adalah pendapat Imam Malik rahimahullah yang mengatakan bahwa hukum memenuhi
janji itu wajib jika janji tersebut menyebabkan orang lain sudah melakukan
suatu tindakan tertentu, dan jika janji tersebut tidak dipenuhi, maka orang
tersebut akan menderita kerugian atau mengalami kesusahan. Misalnya, ada
seorang pemuda bujangan yang ingin menikah namun tidak memiliki dana untuk
melangsungkan pernikahan. Lalu seseorang berjanji kepada pemuda tersebut bahwa
dia lah yang akan menanggung mahar dan biaya pernikahannya. Dengan janji
tersebut, sang pemuda melamar wanita yang hendak dinikahinya. Janji seperti
inilah yang dalam madzhab Imam Malik rahimahullah wajib untuk ditunaikan dan
haram diselisihi karena akan menimbulkan kesusahan bagi orang lain.
Pendapat ke tiga
mengatakan bahwa memenuhi janji hukumnya wajib secara mutlak dan menyelisihi
janji hukumnya haram.
Dan pendapat ke
tiga inilah yang paling kuat karena menyelishi janji adalah tanda kemunafikan,
sehingga tidak mungkin kita katakan bahwa hukum menyelisihi janji itu tidak
sampai derajat haram. Dan juga, menyelisihi janji disamakan dengan berkata
dusta, sedangkan dusta (bohong) itu haram, sehingga tidak mungkin kalau
menyelisihi janji itu tidak haram (sebatas makruh saja, misalnya). Sehingga
yang lebih tepat, menyelisihi janji itu hukumnya haram dan sebaliknya, hukum
memenuhi janji adalah wajib.
Oleh karena itu,
karena hukum memenuhi janji adalah wajib, dan menyelisihinya adalah haram, maka
sudah seharusnya seorang muslim berhati-hati dalam membuat janji. Seorang
muslim tidak akan bermudah-mudah mengobral janji kemudian melupakan dan
menyelisihi janjinya sendiri.
1. https://muslim.or.id/38-jujur-kiat-menuju-selamat.html
2. https://muslim.or.id/47562-hukum-menepati-janji.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar